Selasa, 28 Februari 2012

Admiral Yi Sun-Sin (Korean)






Yi Sun-sin (lahir 28 April 1545 – meninggal 16 Desember 1598 pada umur 53 tahun) adalah seorang tokoh militer dan pahlawan nasional Korea.[1][2][3][4] Ia adalah tokoh yang berjasa dalam menumpas serbuan pasukan Jepang yang menginvasi dalam Perang Tujuh Tahun pada masa Dinasti Joseon.[3] Salah satu kontribusinya yang terbesar dalam bidang militer Korea adalah penggunaan kapal perang berlapis besi pertama di dunia yang berbentuk kura-kura yang dinamakan Gobukseon.[4] Sampai sekarang Yi dianggap sebagai seorang pahlawan bangsa Korea yang terbesar dikarenakan kesetiaan, taktik dan kegigihannya dalam berperang.[4] Yi Sun-sin wafat dalam usia 54 tahun pada tahun 1598 tepat setelah kemenangannya dalam akhir Perang Tujuh Tahun.[4] Dalam 7 tahun masa perang itu, Yi Sun-sin memenangkan sebanyak 23 kali pertempuran di laut tanpa kalah.[4] Ia diberi gelar Chung Mu Gong atau Pahlawan Kesetiaan dan Pengabdian.

Yi Sun-sin terlahir pada tanggal 28 April 1545 di Geoncheondong, Hanseong sebagai putra ke-3 dari keluarga bangsawan. Sejak kakeknya terlibat dalam pembersihan politik pada masa pemerintahan Raja Jungjong, ayahnya mulai berhenti mencari pekerjaan yang berhubungan dengan pemerintah. Mereka sekeluarga akhirnya pindah ke Asan, tempat asal keluarga ibu Yi, di saat kondisi perekonomian mereka semakin memburuk.
Layaknya anak bangsawan pada masa itu, Yi Sun-sin dididik dalam ajaran-ajaran Konghucu sejak kecil. Ia menikah pada usia 21 tahun dan dikaruniai 3 orang putra dan 1 orang putri. Ia memutuskan untuk masuk di bidang militer dimulai saat berusia 22 tahun walaupun sebenarnya pilihannya tersebut asing bagi keluarganya yang lebih memandang kesusastraan sebagai tradisi.


  Awal karir militer

Pada usia 28 di tahun 1572, Yi menjalani ujian bidang militer. Dalam ujian itu, Yi jatuh dari kuda dan kaki kirinya patah. Empat tahun kemudian setelah peristiwa itu, Yi kembali mencoba menjalani ujian tersebut, dan pada usia 32 tahun ia berhasil lulus.
Awalnya ia bertugas sebagai perwira dan dikenal akan sifat teguh dan tak kenal kompromi dalam menjalani prinsip-prinsipnya. Hal ini mengakibatkan karir awal Yi tersendat dikarenakan banyak atasan yang tidak suka dengan sikapnya yang tegas dan disiplin. Suatu hari, bahkan ia pernah dicopot dari posnya bertugas karena menolak ikut berpartisipasi dalam kegiatan atasannya yang ia anggap tidak benar. Akhirnya ia juga diturunkan menjadi prajurit kelas bawah dikarenakan fitnah seorang perwira lain yang tidak senang dengannya. Namun begitu, menjelang terjadinya awal Perang Tujuh Tahun dimana Jepang akan menyerbu Joseon, ia mendapat kenaikan pangkat sebagai Komandan Stasiun Angkatan Laut Kiri Jeolla berkat rekomendasi dari Perdana Menteri Ryu Seong-ryeong. Perdana Menteri Ryu telah berteman dengan Yi sejak kecil dan ia mengenal bakat kepemimpinan yang dimilikinya.
Setelah menjabat menjadi komandan angkatan laut, Yi bertugas membenahi Angkatan Laut Joseon dengan memperbaiki sistem administrasi, meningkatkan mutu persenjataan serta mendidik para pelaut. Ia juga menyelesaikan pengkonstruksian Kapal Kura-kura hanya satu hari sebelum Jepang mendarat.

  Latar belakang dimulainya Perang Tujuh Tahun

Yi Sun-sin berperan penting dalam kemenangan Korea dalam Perang Tujuh Tahun. Perang Tujuh Tahun atau Perang Imjin merupakan serangkaian pertempuran panjang selama 7 tahun pada akhir abad ke-16 di semenanjung Korea yang disebabkan oleh invasi Jepang yang berniat menyerbu Cina melalui Korea.
Sebelum perang meletus, Dinasti Joseon di Korea mengalami kegoncangan politik dan ekonomi yang berpengaruh pada bidang militer sehingga keamanan nasional negara itu berada dalam bahaya. Pada saat yang sama, Toyotomi Hideyoshi telah mempersatukan Jepang dan merencanakan untuk melakukan invasi negara-negara tetangganya sehingga ia lebih dapat mengendalikan kekuatan-kekuatan daimyo. Pertama-tama, ia meminta izin kepada Joseon untuk memberi jalur untuk pergerakan tentaranya ke Dinasti Ming. Istana Joseon menolak niat Jepang dan mengacuhkan kemungkinan perang. Saat niatnya ditolak Joseon, Toyotomi Hideyoshi menginvasi dengan kekuatan 160.000 tentara pada bulan April 1592. Joseon tidak mampu menangkis serangan awal dan mengalami kekalahan besar. Daerah pertahanan di bagian selatan direbut dalam waktu beberapa hari saja dan pasukan Jepang bergerak ke utara tanpa mengalami kesulitan sama sekali. Karena bahaya telah mendekat ke ibukota, keluarga kerajaan mengungsi ke tempat yang lebih aman di wilayah utara. Setelah dua bulan, seluruh negeri Joseon berada dalam tangan Jepang.

  Peran dalam angkatan laut dan perang di laut

Yi Sun-sin memimpin angkatan laut untuk mengamankan wilayah perairan dan untuk memutus jalur persediaan dan komunikasi tentara Jepang. Kapal-kapal Jepang menggunakan jalur laut di perairan barat dan timur Semenanjung Korea untuk menyalurkan persediaan perang kepada para pasukan yang berada di daratan. Dengan keunggulan pasukan Yi Sun-sin, semua kapal Jepang di perairan Korea berhasil dikalahkan. Beberapa pertempuran di laut benar-benar menentukan keberhasilan pasukan Korea atas Jepang, antara lain Pertempuran Hansan, Pertempuran Myeongnyang dan Pertempuran Noryang.

  Pertempuran Hansan dan kenaikan pangkat

Pertempuran Hansan yang terjadi pada tanggal 14 Agustus, 1592 adalah pertempuran laut terbesar yang dimenangkan oleh Laksamana Yi dan juga dianggap sebagai salah satu perang laut terbesar di dunia. Pasukan Jepang yang dikirim oleh Toyotomi Hideyoshi terdiri dari 3 armada dengan 10 ribu anak buah, berkali-kali lipat dari jumlah pasukan Yi Sun-sin.
Laksamana Yi menyusun taktik untuk mengumpan Jepang agar berperang di perairan Pulau Hansan yang berada jauh dari daratan utama sehingga pasukan Yi dapat dengan leluasa melakukan penyerangan dan memperkecil kemungkinan musuh untuk melarikan diri. Pasukan Laksamana Yi dibantu oleh Laksamana Yi Ok-ki dan Won Gyun.
Laksamana Yi memerintahkan sebagian besar kapal perang untuk tetap berada di Hansan dan mengirimkan 6 buah panokseon (kapal perang beratap) menuju selat Kyonnaeryang. Kemudian panokseon bergerak menuju tempat sebelumnya di Hansan seolah-olah akan menyerah untuk menarik perhatian pasukan Jepang agar mengejar. Saat semua kapal Jepang telah berada di laut lepas, Laksamana Yi memerintahkan pasukannya membentuk hagikjin atau formasi sayap bangau untuk menyerang kapal utama musuh. Secara tiba-tiba, kapal mereka berbalik arah dan berhadapan dengan kapal Jepang. Mereka mengelilingi kapal utama dalam posisi setengah lingkaran. Gerakan ini menjebak Jepang dengan sedikit ruang untuk bergerak dan segera menghantam dengan meriam dan panah api. Sisa-sisa kapal Jepang yang selamat melarikan diri. Sebanyak 47 buah kapal musuh ditenggelamkan dan 12 lain ditawan, menyisakan 14 dari keseluruhan 73 buah kapal dan 1000 dari 10.000 orang.
Kemenangan pasukan Yi di laut membuat penyerbu di daratan terisolasi dari bantuan negerinya. Tak lama setelah perang, Pyeongyang berhasil direbut kembali atas bantuan pasukan Ming. Dua bulan setelah itu, ibukota juga berhasil direbut. Dalam bentuk penghargaan akan jasa besarnya, Yi dianugerahi kedudukan sebagai Tongjesa, pangkat tertinggi dalam angkatan laut Joseon. Kini ia memimpin angkatan laut 3 provinsi.

  Konspirasi mata-mata Jepang dan pencopotan jabatan

Pada bulan Desember 1596, saat negosiasi antara Ming dan Jepang gagal, Toyotomi Hideyoshi memperbarui rencana penyerbuan ke Korea. Sementara itu, Laksamana Yi sedang mendapat masalah dikarenakan tuduhan Jendral Won Gyun dan mata-mata Jepang bernama Yoshira. Won Gyun yang selalu iri karena Yi Sun-sin selalu memiliki kedudukan lebih tinggi daripada dirinya tidak hanya sering dengan sengaja mengabaikan perintah Yi, namun juga mulai memberikan laporan palsu kepada raja tentang keadaan angkatan laut dan hasil peperangan untuk menjelek-jelekkan Yi Sun-sin. Hal itu menimbulkan spekulasi di istana.
Pihak Jepang menyadari keberadaan Yi Sun-sin akan menggagalkan tujuan mereka sehingga ia harus disingkirkan terlebih dahulu dengan cara membuat raja tidak menyukainya. Mereka mengirimkan seorang mata-mata bernama Yoshira ke dalam sebuah pangkalan militer yang dipimpin jendral Kim Eung-su dan menawarkan jasa sebagai seorang mata-mata untuk membocorkan informasi penting bagi Joseon. Ia melaporkan bahwa kedatangan Jendral Kato Kiyomasa yang sudah tak lama lagi. Namun, Yoshira meminta agar Tongjesa (Yi Sun-sin) yang menghadapi armada Jepang itu.
Jendral Kim percaya pada apa yang disampaikan Yoshira dan memohon kepada Raja Seonjo untuk mengirimkan Laksamana Yi Sun-sin menghadapi kedatangan musuh. Raja memerintahkan Yi dan pasukannya untuk bergerak. Namun, Laksamana Yi menolak permintaan raja karena mengetahui bahwa lokasi dimana ia diperintahkan untuk berperang sangat berbahaya karena dipenuhi gosong karang dan kemungkinan besar akan mengalami kekalahan. Saat perintahnya ditolak, Raja Seonjo marah besar dan menganggap Laksamana Yi congkak. Yi kemudian dipenjara di ibukota dan mendapat siksaan. Raja menginginkannya dihukum mati, namun para pendukung Yi di istana memohon untuk membebaskannya dengan alasan pada masa lalu jasanya sangat besar bagi negara. Lolos dari hukuman mati, Yi dicopot dari jabatan Tongjesa menjadi prajurit bawahan.
Won Gyun merasa senang karena naik pangkat menjadi Tongjesa menggantikan Yi Sun-sin. Namun Won Gyun tidak cakap mengendalikan masalah-masalah bahari dan bersikap acuh terhadap pekerjaan mengelola angkatan laut. Sementara itu, Yoshira masih terus memengaruhi Jendral Kim Eung-su untuk mengirimkan pasukan menghadapi armada Jepang, yang ia kabarkan sudah tiba di Korea. Setelah perintah diberikan, Won Gyun mulai mengerahkan kapal perang. Hasilnya sangat buruk karena ia tidak bisa mengendalikan jalannya kapal sehingga armada Jepang menang. Karena panik, Won Gyun melarikan diri ke darat dan sampai disana ia dibunuh oleh pasukan Jepang yang telah menunggunya. Kekalahan ini adalah kehancuran armada laut satu-satunya dalam pertempuran laut Perang Tujuh Tahun. Dari 134 kapal perang yang dikerahkan, hanya 12 yang selamat di bawah kendali Komandan Bae Sul.

Pertempuran Myeongnyang

Mendengar kekalahan Won Gyun, raja menyesali keputusannya dan kembali mengangkat Yi Sun-sin menjadi Tongjesa. Walau telah mengalami perlakuan buruk dan bahkan bersedih karena baru-baru itu ibunya meninggal dunia, Yi Sun-sin menerima penugasan itu dengan siap. Yi melakukan perjalanan di propinsi Jeolla untuk mengumpulkan kapal, pengungsi dan senjata yang tersisa sebelum menghadapi musuh.
Raja Seonjo mengetahui kesulitan yang dialami Yi Sun-sin yang hanya mendapatkan 13 buah kapal dan menyarankan Yi untuk berhenti berperang di laut dan bergabung dengan angkatan darat. Namun, Yi meyakinkan bahwa ia memiliki alasan kuat untuk melindungi perairan di kawasan Jeolla dan Chungcheong guna mencegah penerobosan Jepang dari jalur laut ke ibukota.
Dengan kondisi terjepit karena pasukan musuh berjumlah besar, pasukan Yi Sun-sin memutuskan untuk bergerak ke Selat Myeongnyang. Myeongnyang adalah selat yang harus dilewati musuh untuk mencapai ibukota. Daerah ini memiliki arus paling deras di Semenanjung Korea yang mencapai 18 km/jam dikarenakan aliran dari laut lepas terdorong ke dalam selat yang sempit. Di selat ini, Yi Sun-sin memasang jebakan bawah air berupa kawat besi yang dapat diputar menggunakan kapstan, sejenis as roda yang digunakan di kapal. Hal itu untuk menggoyahkan dan membuat mereka saling bertabrakkan pada saat arus deras terjadi. Kapal Joseon mempunyai dasar berbentuk datar dan dangkal, sementara kapal Jepang berdasar tajam dan dalam yang akan tersangkut jebakan yang dipasang di bawah air.
Pada tanggal 16 September 1597, armada Jepang tiba dengan 330 kapal. Ketigabelas kapal Laksamana Yi menghadapi musuh dengan menggunakan formasi Iljajin (formasi satu garis). Iljajin adalah salah satu bentuk formasi yang paling sederhana, terdiri atas sekelompok kapal yang berbaris satu-satu dengan haluan menghadap ke arah musuh. Walau begitu, armada Laksamana Yi tidak bisa dengan bebas melakukan gerakan yang lebih bervariasi karena jumlah musuh terlalu banyak. Berkat sempitnya selat Myeongnyang, hanya 130 kapal Jepang yang dapat masuk. Dalam waktu sebentar, mereka sudah mengelilingi pasukan Yi. Para kapten kapal dan Laksamana Yi maju menyerang ke gerombolan musuh sendirian dengan menembakkan panah dan meriam. Tiba-tiba, di dekat kapal Laksamana Yi terlihat mengapung mayat musuh yang ternyata adalah Matashi Kurushima, jendral pasukan Jepang. Mayat itu ditarik dan diperlihatkan ke arah musuh dari haluan. Hal tersebut mengakibatkan kegemparan di antara mereka.
Pada saat itu, arus mulai menjadi deras karena alaminya mengalami pergantian arah setiap 4 jam sekali. Kekuatan aliran mulai menggoyahkan kapal-kapal Jepang dan merusak posisi mereka. Pasukan Yi mengencangkan kawat besi di bawah air dengan memutar kapstan. Lambung kapal mereka mulai tersangkut dan mulai bertabrakkan satu sama lain. Sementara, pasukan Yi terus menggempur. Dari 130 kapal Jepang yang masuk ke Selat Myeongnyang, 31 tenggelam dan 90 rusak parah dan tak satupun kapal pihak Laksamana Yi kalah. Dalam buku hariannya, Laksamana Yi mencatat bahwa ia bersyukur atas kemenangan yang ia anggap sebagai mukjizat.

  Pertempuran Noryang dan akhir hayat

Invasi kedua Jepang yang terjadi pada tahun 1597 sekali lagi dapat dipatahkan oleh kekuatan pasukan Laksamana Yi di laut. Bantuan Cina juga berperan besar dalam menentukan akhir perang selain pesan Hideyoshi pada bulan Agustus tahun berikutnya yang memerintahkan untuk menarik semua pasukan Jepang dari Korea. Pada pertempuran ini Laksamana Yi menghadang kepulangan Jepang dengan bantuan angkatan laut Ming yang dipimpin Chen Lien.
Dalam pertempuran tahap awal, armada Jepang dipukul mundur dengan 50 buah kapal dihancurkan sehingga mereka melarikan diri ke Kwaneumpo namun telah dijebak pada tiap sisi. Karena tak ada pilihan lain, mereka berbalik dan melawan. Mereka mengincar kapal utama yang dikemudikan Laksamana Yi. Baik Yi dan Chen Lien berkali-kali dalam bahaya karena hampir terkurung namun keduanya berhasil menghindar.
Saat sedang meneriakkan perintah maju, Laksamana Yi tertembus peluru dari kapal musuh dan terluka parah. Ia meminta anak buahnya menutupi tubuhnya dengan perisai dan merahasiakan kematiannya dari pasukan lain agar mereka tidak terkejut. Yang menyaksikannya menghembuskan napas terakhir adalah putra sulungnya, Hoe, dan keponakannya, Wan. Sambil menahan kesedihan mereka meneruskan pertempuran. Kemenangan armada laut di Pertempuran Noryang ditandai dengan hancurnya 450 buah kapal Jepang dan sisanya kabur. Perang ini menandakan akhir dari Perang Tujuh Tahun.

  Warisan dan pengakuan

Pada zaman moderen, banyak tokoh-tokoh militer di berbagai negara di luar Korea mengetahui Yi Sun-sin dan mengagumi kepiawaiannya dalam menggunakan taktik untuk berperang.
George Alexander Ballard (1862–1948), seorang wakil laksamana dari Angkatan Laut Kerajaan Inggris memuji Yi Sun-sin atas prestasinya dalam Pertempuran Hansan pada bukunya, The Influence of the Sea on the Political History of Japan.
This [the Battle of Hansan] was the great Korean admiral’s crowning exploit. In the short space of six weeks he had achieved a series of successes unsurpassed in the whole annals of maritime war, destroying the enemy’s battle fleets, cutting his lines of communication, sweeping up his convoys,...and bringing his ambitious schemes to utter ruin. Not even Nelson, Blake, or Jean Bart could have done more than this scarcely known representative of a small and cruelly oppressed nation; and it is to be regretted that his memory lingers nowhere outside his native land, for no impartial judge could deny him the right to be accounted among the born leaders of men. (p. 57)
Pertempuran [Hansan] ini adalah puncak kehebatan seorang laksamana dari Korea. Dalam jangka waktu pendek selama 6 minggu, ia telah meraih rangkaian kemenangan tak terkalahkan dalam seluruh babad perang bahari, dengan menghancurkan armada perang musuh, memutuskan jalur komunikasinya, menyapu bersih iring-iringannya,…dan menjadikan niat ambisiusnya benar-benar runtuh. Bahkan Nelson, Blake, atau Jean Bart tidak pula dapat melakukan yang lebih daripada seseorang wakil yang kurang dikenal dari negeri kecil dan tertindas ini; dan sangat disayangkan bahwa ingatan akan dirinya tidak terdengar melainkan hanya di negerinya sendiri dan sesungguhnya hukuman yang tidak adil tidak akan dapat mengingkari haknya untuk dapat dihitung sebagai salah seseorang yang dilahirkan sebagai pemimpin. (hal. 57)

Minggu, 12 Februari 2012

Xing Cai (Shu Dinasti Han)



Permaisuri Zhang Jing Ai
sekitar tahun 200M, seorang gadis muda berusia 13 tahun sedang mencari kayu bakar di hutan. Disana ia bertemu dengan Zhang Fei yang kemudian mencabulinya.
Tak lama mereka lalu menikah setelah mengetahui bahwa gadis tersebut berasal dari keluarga baik-baik.
Gadis tersebut berasal dari keluarga Xiahou, seorang sepupu dari Xiahou Yuan. Ia kemudian melahirkan paling tidak 2 orang putra (Zhang Bao dan Zhang Shao) dan 2 orang putri bagi Zhang Fei.

Setelah Liu Chan naik tahta menjadi kaisar, Perdana Menteri Zhuge Liang kemudian hendak mencarikan jodoh baginya. Telah disepakati bahwa putri Zhang Fei lah yang pantas untuk menjadi pendamping Liu Chan.
Ia kemudian diberi nama Jing Ai yang kira-kira berarti permaisuri yang dihormati dan disayangi. Ia juga dikenal sebagai Permaisuri Zhang yang pertama.
Permaisuri Zhang tidak berusia panjang, saat kira-kira usianya mencapai 30 tahun, Ia meninggal karena sakit pada tahun 237 M.
Ia meninggal tanpa memberikan seorang keturunan bagi Liu Chan.
Sepeninggal Permaisuri Jing Ai, Liu Chan sekali lagi mempersunting seorang wanita dari keluarga Zhang Fei,
Ia adalah adik dari Jing Ai yang dikenal sebagai Permaisuri Zhang yang kedua.
Ia melahirkan paling tidak seorang putra bagi Liu Chan, karena saat Xiahou Ba bergabung dengan Shu, Liu Chan mendatanginya dan berkata;
"Tuan, yang terjadi pada ayahmu di Han Zhong adalah tuntutan perang. Anak ini yang berdiri di hadapanmu, adalah pangeran Shu yang juga seorang anggota keluarga Xiahou."
Sejak hari itu Xiahou Ba dan Liu Chan saling menerima dan hidup layaknya keluarga.

Sun Shangxiang (Wu Dinasti Han)



Sun Shangxiang (Hanzi: 孫尚香) juga dikenal sebagai Sun Ren (孫仁) atau Nyonya Sun (孫夫人) adalah anak perempuan dari Sun Jian, pada Zaman Tiga Negara. Ia adalah putri tunggal dari 5 bersaudara. Nyonya Sun sejak kecil menyukai seni bela diri.
Ia dinikahkan oleh kakaknya, Sun Quan kepada Liu Bei dengan alasan mempererat hubungan antara Shu dan Wu. Namun, dalam satu kesempatan, Zhou Yu ingin memanfaatkan pernikahan ini untuk melaksanakan siasatnya untuk membunuh Liu Bei. Liu Bei berhasil mengetahui rencana ini dan melarikan diri bersama Nyonya Sun ke Shu.
Ia juga menghadapi dilema ketika perang Yi Ling terjadi karena dia melihat disatu sisi ada saudara(Sun Quan) dan juga suaminya(Liu Bei)

[sunting] Keluarga

Cao Cao (Wei Dinasti Han)



Cao Cao (Hanzi: 曹操)(155-220) merupakan seorang tokoh Zaman Tiga Negara yang terkenal. Ia dikenal sebagai pemikir ulung, ahli strategi dan juga ahli perang. Ia bernama lengkap Cao Mengde, juga dipanggil sebagai Cao A Man yang merupakan nama kecilnya. Cao Cao dikenal di kalangan Tionghoa Indonesia sebagai Tsao-tsao, Tso-tso atau Cho Cho.

[sunting] Biografi

Ia lahir di kota Qiao (sekarang di Haozhou, Anhui). Kitab sejarah Catatan Sejarah Tiga Negara mencatat bahwa salah satu leluhurnya, Cao Can adalah seorang pejabat kekaisaran di awal Dinasti Han.

[sunting] Karier politik

Karier politiknya dimulai dengan ikut memadamkan Pemberontakan Serban Kuning yang mengancam legitimasi Dinasti Han di masa-masa akhir dinasti tersebut. Setelah berhasil memadamkan pemberontakan tersebut, ia diberikan jabatan dan kemudian mengambil kesempatan tersebut untuk menguasai Prefektur Qingzhou. Ia kemudian memperkuat diri sendiri dengan membujuk bekas anggota pemberontak Serban Kuning untuk bergabung di dalam tentara pribadinya.
Tahun 196, ia menerima dan memberikan perlindungan kepada Kaisar Han Xiandi yang pada saat itu mendapat ancaman. Namun kemudian malah menyandera kaisar dan meminjam kesempatan ini untuk menaklukkan beberapa jenderal perang di sekitar wilayah Xuchang yang merupakan pusat kekuatannya.
Kemenangan terbesarnya adalah Pertempuran Guandu menaklukkan Yuan Shao yang pada saat itu merupakan jenderal perang terbesar di wilayah utara Tiongkok. Setelah penaklukan itu, ia resmi menjadi perdana menteri dan berhasil mempersatukan Tiongkok utara. Semenjak itu dia menjadi orang yang paling ditakutkan dalam sejarah cina.
Setelah menggapai kedudukan sebagai perdana menteri, Cao Cao kemudian menyusun kekuatan untuk invasi ke Tiongkok selatan yang waktu itu dikuasai oleh Liu Bei dan Sun Quan. Pertempuran Chibi adalah pertempuran di antara Cao Cao melawan aliansi Liu Bei dan Sun Quan. Cao Cao kalah telak dalam peperangan terkenal sepanjang sejarah Tiongkok ini.
Ia memaklumatkan diri sebagai Raja Wei. Sepeninggalnya, anaknya Cao Pi kemudian memaklumatkan diri sebagai Kaisar Wei dan sekaligus berdirinya negara Cao Wei. Selanjutnya, Cao Cao diangkat statusnya menjadi Kaisar Wei Wudi

Liu Bei (Shu Dinasti Han)



Liu Bei (Hanzi: 劉備) (161-223) adalah seorang tokoh terkenal di Zaman Tiga Negara. Ia lahir di Kabupaten Zhuo (sekarang di wilayah provinsi Hebei), merupakan keturunan dari Liu Sheng, Raja Jing di Zhongshan yang merupakan anak dari Kaisar Jing dari Han. Dihitung-hitung, ia masih paman dari Kaisar Xian dari Han yang memerintah waktu itu. Ia bernama lengkap Liu Xuande. Ia juga dikenal di kalangan Tionghoa Indonesia dengan nama Lau Pi yang merupakan lafal dialek Hokkian.
Karier politiknya dimulai dengan pemberantasan pemberontak Serban Kuning di akhir zaman Dinasti Han yang mengancam legitimasi dinasti tersebut bersama dengan 2 saudara angkatnya, Guan Yu dan Zhang Fei. Setelah berjasa atas pemadaman pemberontakan tadi, ia diberikan jabatan kecil sebagai penjabat bupati di sebuah kabupaten kecil di daerah Anxi.
Pada awalnya, karier politiknya sangat tidak mulus. Tidak punya wilayah sendiri untuk menyusun kekuatan, ia bahkan sempat mencari perlindungan dan menjadi bawahan daripada kekuatan-kekuatan lainnya pada masa tersebut misalnya Tao Qian, Yuan Shao, Lu Bu, Cao Cao, Liu Biao dan terakhir Liu Zhang yang kemudian menyerahkan Prefektur Yizhou kepadanya sebagai tempat menyusun kekuatan.
Keberhasilannya di kemudian hari adalah karena muncul orang-orang di sekelilingnya yang membantu dalam banyak hal, seperti Zhuge Liang dan Pang Tong di bidang sipil, strategi dan politik; Guan Yu, Zhang Fei, Ma Chao, Huang Zhong dan Zhao Yun di bidang militer.
Setelah menguasai Prefektur Yizhou dan Hanzhong, ia kemudian memaklumatkan diri sebagai Raja Hanzhong. Tahun 221, setahun setelah Cao Pi memaklumatkan diri sebagai kaisar, Liu Bei juga memaklumatkan diri sebagai Kaisar Han Liedi, mendirikan Negara Shu Han yang mengklaim legitimasi sebagai penerus Dinasti Han yang resmi telah tidak ada setelah proklamasi Negara Cao Wei.
Sepeninggalnya, ia digantikan oleh anaknya Liu Chan yang tidak cakap memerintah. Seluruh urusan pemerintahan pada saat itu dibebankan kepada Zhuge Liang sebagai perdana menteri.

[sunting] Biografi sejarah

Liu Bei adalah keturunan dari pangeran Sheng dari Zhongshan, cucu buyut dari kaisar keempat Han, Jing. Liu Bei hidup dalam kemiskinan semasa mudanya. Ayahnya telah meninggal dan ibunya bekerja sebagai penenun dan penjual sandal jerami. Pada umur 15 tahun, Liu Bei bersama rekannya, Gongsun Zan berguru pada Lu Sih.
Pada masa Pemberontakan Serban Kuning, dia terpilih menjadi Pegawai Pengadilan di kabupaten Anxi.
Liu Bei memulai karier militernya di bawah komandan utama,He Jin dalam perwalian Gongsun Zan sebagai Komandan Pasukan Cadangan dan bupati Ping Yuan.
Ketika Cao Cao menyerang kota Xu Zhou milik Tao Qian, Liu Bei membawa pasukannya untuk melindungi sang Pelindung Kekaisaran. Pada tahun 196, Liu Bei direkomendasikan untuk menjabat sebagai Jendral Penjaga Wilayah Timur dan diberi gelar Penguasa Yicheng.
Selanjutnya Liu Bei membantu Cao Cao dalam penangkapan Lu Bu dan dipromosikan menjadi Jendral Pasukan Kiri. Saat ini, kaisar Xian mengetahui adanya hubungan keluarga antara Liu Bei dan pangeran Zhongshan sehingga ia menganugerahi Liu Bei gelar "Paman Kaisar".
Antara tahun 198 - 199, Liu Bei tidak disenangi Cao Cao karena mendukung rencana pembunuhannya. Liu Bei pindah ke Xia Pi,dan pada tahun 200, meminta perlindungan Yuan Shao.
Setelah bertemu kembali dengan saudara angkatnya, Zhang Fei dan Guan Yu, Liu Bei meninggalkan Yuan Shao untuk menjumpai Liu Biao di Jingzhou. Cao Cao mengejar Liu Bei yang akhirnya melepas pos pertahanannya di Fancheng dan mengungsi ke Xia Kou. Selanjutnya Liu Bei bersekutu dengan Sun Quan untuk mengalahkan Cao Cao. Setelah kemenangan mutlak di Pertempuran Chibi, Liu Bei sukses menempati daerah selatan Jing saat Zhou Yu menghancurkan angkatan perang Cao Cao.
Setelah wafatnya Liu Biao dan putranya Liu Qi, Liu Bei menempati beberapa kabupaten di provinsi Jing. Ia kemudian menikahi adik Sun Quan dan resmi menjadi Pelindung Jingzhou.
Pada tahun 211, ia berangkat ke Yizhou sambil berpura-pura membantu Liu Zhang mengalahkan Zhang Lu. Saat ini, Liu Bei menerima dua rekomendasi untuk menempati posisi Menhankam dan Panglima Distrik Ibukota. 3 tahun kemudian, Liu Bei berbalik melawan Liu Zhang dan menguasai Cheng Du dan seluruh wilayah barat. Ia menjabat sebagai Pelindung Yizhou dan pada tahun 219, ia mengangkat dirinya sebagai Raja Hanzhong.
Setelah melewati beberapa peperangan dengan Dong Wu dan Cao Wei, atas desakan Zhuge Liang, Liu Bei mengumumkan dirinya sebagai Kaisar pada bulan April tahun 221. Perang terakhirnya adalah melawan negeri Dong Wu sebagai aksi balas dendam setelah ekspedisi Wu yang mengakibatkan terbunuhnya Guan Yu. Liu Bei dikalahkan oleh Lu Xun, jendral dari Sun Quan di Yiling. Liu Bei menetap di Bai Di Cheng pasca kekalahan tersebut. Pada bulan April tahun 223, Liu Bei, mengganti marganya menjadi Lin, setelah membunuh Sun Quan.Ia diberi gelar anumerta "Raja Zhao Di" (Shu Han Zhao Lie Di). Terus dia pindah menyerbu kaisar Giok Tee.

Harald Hardraade (Viking)








Harald III Sigurdsson (101525 September 1066), nantinya bernama Harald Hardråde (Nordik Lama: Haraldr harðráði, artinya ) adalah raja Norwegia dari tahun 1047 sampai tahun 1066. Ia juga mengklaim menjadi raja Denmark sampai tahun 1062, setelah menaklukan pasukan Raja Svend dan memaksanya pergi dari negara. Banyak kehidupannya diceritakan di Heimskringla. Di antara penutur bahasa Inggris, ia disebut "Harald Hardrada" dan diingat untuk invasi ke Inggris tahun 1066. Kematian Hardrada sering dianggap sebagai berakhirnya era Viking.

Zhou Yu (Wu Dinasti Han)

Zhou Yu (Hanzi: 周瑜, 175-210 M) adalah penasehat militer Tiongkok yang pertama dan terpenting dari Wu di Zaman Tiga Negara. Ia bernama lengkap Zhou Gong Jin, ia adalah anak seorang bangsawan dari daerah Lujiang. Di dalam Kisah Tiga Negara, ia dideskripsikan sebagai seorang tampan yang cakap dalam hal kemiliteran dan kenegaraan.
Saat Sun Jian berkuasa di wilayah Changsha, ia bertemu dengan Sun Ce, anak pertama dari Sun Jian. Mereka belajar bersama dan bersahabat karib hingga akhirnya bersumpah-saudara. Setelah itu karena paman Zhou Yu, Zhou Shang diangkat menjadi Gubernur Danyang, Zhou Yu pindah ke sana dan mengabdi kepada Yuan Shu.
Sun Ce yang menggantikan ayahnya yang meninggal ketika ia berumur 17 tahun (Sun Jian meninggal tahun 192), mulai menunjukkan kebolehannya pada tahun 194. Ia meminjam 3000 prajurit dari Yuan Shu dengan jaminan cap kekaisaran warisan ayahnya (Sun Jian menemukannya saat berada di Luo Yang, setelah peperangan di Gerbang Hulao), kemudian menuju ke daerah Wu. Zhou Yu, yang mendengar berita ini, langsung saja bergabung dengan Sun Ce sebagai ahli strategi dan membantunya mengalahkan Liu Yong, Yan Baihu, dan Wang Lang sehingga berhasil merebut kota Mo Ling (selanjutnya diganti menjadi Jian Ye oleh Sun Ce), Wu, dan Hui Ji serta mendapatkan Jendral baru yan sangat berkualitas yaitu Taishi Ci, semua dituntaskan hanya dalam waktu yang sangat singkat. Atas keberhasilan ini Sun Ce mendapat julukan "Little Conquerror" dan Zhou Yu mendapat julukan "Young Gentleman Handsome Zhou".
Tahun 199, Sun Ce dan Zhou Yu berhasil menumpas Liu Xun, sehingga memperluas wilayah kekuasaan. Pada sekitar tahun ini jugalah Sun Ce dan Zhou Yu menikahi Two Qiaos, anak Qiao Xuan seorang pintar dan kritikus. Sun Ce menikahi anak sulung Da Qiao dan Zhou Yu menikahi anak bungsu Xiao Qiao. Mereka berdua adalah wanita yang terkenal akan kecantikannya. Dari pernikahan ini Zhou Yu mempunyai 3 anak, 2 anak laki-laki Zhou Xun dan Zhou Yin dan 1 anak perempuan Zhou Ying.
Pada tahun 200 M, Sun Ce wafat dan digantikan oleh adiknya, Sun Quan, yang masih sangat muda, saat itu umurnya baru 18 tahun. Atas wasiat dari Sun Ce yang berisi "masalah dalam negeri diskusikan dengan Zhang Zhao dan masalah luar negeri diskusikan dengan Zhou Yu", maka Zhou Yu memegang kekuasaan militer dan Zhang Zhao mengurusi masalah domestik. Hal ini menunjukkan loyalitas Zhou Yu yang sangat tinggi karena sebenarnya calon kuat penerus Sun Ce adalah Zhou Yu sendiri, tetapi dia lebih memilih mengabdi kepada Sun Quan dan tidak memikirkan kekuasaan.

[sunting] Perang Tebing Merah

206 M, Zhou Yu berhasil menumpas bandit lokal, menangkap ribuan bandit. Setelah itu Zhou Yu berhasil menangkis serangan Liu Biao, yang pada prosesnya Zhou Yu juga berhasil menangkap jendral Liu Biao, Deng Long.
Antara tahun 207-208 M, Zhou Yu mendapat tugas dari Sun Quan untuk menghancurkan Huang Zu (penyebab wafatnya Sun Jian). Dengan bantuan Gan Ning (yang sebelumnya adalah anak buah Huang Zu), Lu Meng, Ling Tong, Dong Xi, dan Xu Sheng, Zhou Yu berhasil merebut daerah Xia Kou, dan membunuh Huang Zu.
Pada tahun 208 M, Sun Quan beraliansi dengan Liu Bei untuk bekerja sama mengalahkan Cao Cao yang ingin menyerang daerah selatan. Zhou Yu diangkat oleh Sun Quan menjadi Panglima Besar membawahi 30.000 pasukan dan menjadi wakil Sun Quan untuk berdiskusi dengan ahli strategi Liu Bei Zhuge Liang, total pasukan aliansi berjumlah 50.000. Mereka setuju untuk melakukan serangan api terhadap kapal-kapal milik Cao Cao. Alhasil, setelah Zhou Yu menggunakan berbagai macam strategi dan bantuan ahli strategi lain yaitu Pang Tong serta pengorbanan diri oleh Huang Gai, aliansi Liu Bei-Sun Quan berhasil membakar kapal-kapal perang milik Cao Cao yang mengangkut 200.000 pasukan dan memenangkan perang Chibi atau yang lebih dikenal dengan Perang Tebing Merah. Setelah itu Zhou Yu maju ke daerah Jing, dan berhasil merebut daerah Nan Jun(Jiang Ling) dari tangan Cao Ren dan Niu Jin. Karena keberhasilan ini Zhou Yu diangkat menjadi Gubernur Nan.

[sunting] Kematian

Tahun 210, Zhou Yu mengusulkan kepada Sun Quan tentang rencana dua kerajaan, yang terdiri dari Sun Quan di selatan dan Cao Cao di utara. Sun Quan menerima rencana ini, dan untuk mensukseskan rencana ini, negeri Wu harus merebut wilayah Yi dan di daerah barat Cina dari tangan Liu Zhang dengan cara bekerjasama dengan Zhang Lu. Sungguh sangat disayangkan Zhou Yu meninggal di Baqiu dalam persiapan untuk perjalanan ke wilayah Yi pada usia 36 tahun. Perannya sebagai ahli strategi dan komandan Wu kemudian digantikan oleh Lu Su.

[sunting] Kualitas

Di dalam Kisah Tiga Negara, Zhou Yu diceritakan kalah dari Zhuge Liang dalam kepintaran berperang maupun kenegaraan, namun dalam catatan sejarah sebenarnya Zhou Yu mempunyai kemampuan lebih dibandingkan dengan Zhuge Liang terutama dalam hal berperang. Dia juga dikenal akan ketampanannya. Dia seorang yang sangat terbuka dalam pertemanan. Cheng Pu, seorang jendral tua dari masa Sun jian meremehkannya, ia menganggap Zhou Yu terlalu muda, tapi Zhou Yu tidak memedulikan itu dan akhirnya mereka berteman baik setelah Cheng Pu melihat kemampuan Zhou Yu. Zhou Yu seorang yang mempunyai banyak talenta, diantaranya musik dan puisi. Ada perkataan pada zaman itu "jika ada tune yang salah, datanglah ke Zhou Yu".
Zhou Yu juga terkenal akan loyalitasnya. Walaupun Sun Quan menganggap Zhou Yu sebagai saudara tua, Zhou Yu tidak pernah melewati batas, dan selalu setia mengabdi kepada Sun Quan.

[sunting] Dalam Fiksi

Dalam anime Ikki Tousen, karakter Shuyuu Koukin didasarkan pada Zhou Yu, sedangkan saudari perempuannya, Sonsaku Hakufu didasarkan pada Sun Ce.
Dalam game yang dikeluarkan KOEI, Dynasty Warriors, Zhou Yu digambarkan sebagai seseorang yang berintelijen tinggi, berpendirian kuat dan tampan. Zhou Yu digambarkan sangat memperhatikan saudara angkatnya Sun Ce, Zhou Yu bertanggung jawab, berpikir dengan matang dan sistematis dalam menghadapi perang, sedangkan Sun Ce berani dan ceroboh. Biasa dalam awal game Zhou Yu harus menolong Sun Ce dari situasi sulit karena kecerobohannya. Zhou Yu juga digambarkan sebagai orang yang sangat loyal terhadap negara Wu, ini terbukti dari usahanya melenyapkan Zhuge Liang karena akan membawa masalah bagi negara Wu di kemudian hari.
Dari Dynasty Warriors 1 sampai 5, Zhou Yu menggunakan pedang sebagai senjatanya, yang dikenal dengan nama Ancient Sword. Pada game Dynasty Warriors terbaru Dynasty Warriors 6, Zhou Yu menggunakan Bo Staff, semacam tongkat.